Sejumlah prajurit TNI melakukan defile ketika berlangsungnya HUT TNI ke-67  di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. FOTO: AFP PHOTO / ROMEO GACAD
Sejumlah prajurit TNI melakukan defile ketika berlangsungnya HUT TNI ke-67 di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. FOTO: AFP PHOTO / ROMEO GACAD
Jakarta - Bentrok di Ogan Komering Ulu (OKU) yang diduga terkait dendam aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) vs Polri, adalah bukti belum efektifnya perjanjian pasca keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) no.2/2013 tentang Keamanan Nasional (Kamnas).

"Bentrok seperti ini berulang di banyak area meski sudah ada MoU paska Inpres 2/2013. Artinya, ada kemungkina problem yaitu di tingkat implementasi, MoU ternyata tidak efektif dalam 'kerjasama' dua instansi itu," kata anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eva Kusuma Sundari di Jakarta, Kamis (7/3).

Pada awal tahun ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang mengeluarkan Inpres Kamnas yang memerintahkan kerjasama antar aparat untuk menangkal setiap ancaman keamanan nasional. Inpres itu juga mewajibkan aparat negara di setiap level untuk peka dan waspada mencegah setiap ancaman yang muncul terhadap keamanan nasional.

Selain masalah implementasi aturan yang belum sukses, Eva menilai problem lainnya yang memicu terjadinya bentrok antar aparat adalah sistem politik yang masih mengakomodasi superioritas TNI dalam sistem politik.

Hal itu berakibat banyak oknum aparat TNI yang dianggap tidak tunduk pada sistem hukum termasuk yang paling remeh, yaitu berlalulintas.

"Adanya perlawanan terhadap pembahasan RUU Peradilan Militer memberikan kontribusi terhadap kasus-kasus kekerasan yang melibatkan dua angkatan ini," ujar politisi PDI Perjuangan itu.

Hingga saat ini, setiap aparat militer memang berada di bawah yurisdiksi peradilan militer, yang beda dengan warga masyarakat yang tunduk pada yursidiksi peradilan umum. Akibatnya, setiap tindak pidana yang dilakukan aparat cuma bisa diproses oleh odituriat militer, bukan aparat hukum umum seperti kepolisian dan kejaksaan.

Bagi Eva, jalan keluar masalah bentrok TNI vs Polri adalah pendekatan hukum jangka pendek maupun jangka panjang.

Jangka pendek adalah penertiban dan penghukuman pelaku kekerasan di kedua angkatan, sementara jangka panjang adalah pembenahan hukum sehingga tidak mengakomodasi superioritas TNI dalam sistem hukum nasional.

"UU Peradilan militer ini yang bisa menyebabkan perilaku above the law," tandasnya.

Sebelumnya, dikabarkan bahwa Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, dirusak oknum anggota tentara Yon Armed 76/15 Tarik Martapura Kamis (7/3). Akibatnya markas milik korps baju cokelat itu rusak dan beberapa mobil patroli juga hancur.

“Jadi tadi pagi ada sekitar 70 anggota dari Yon Armed yang mendatangi Mapolres OKU. Mereka berdemonstrasi meminta pengusutan kasus tertembaknya rekan mereka, bagaimana ceritanya? lalu aksi ini berbuah rusuh,” kata Asisten Operasi Polri Irjen Badrodin Haiti.

Jenderal bintang dua ini mengaku sejauh informasi yang dia terima tak ada korban jiwa dalam insiden ini. “Dirusak dan (mungkin, Red) muncul api. Tapi tak ada niat dibakar,” tambahnya.

Untuk diketahui, sebulan lalu, Pratu Her (23), anggota TNI AD Armed 76/15 Martapura, OKU Timur, tewas tertembus peluru yang diduga dilakukan Brigpol WJ, oknum anggota Polres Ogan Komering Ulu.

Kejadian tersebut kabarnya berawal saat oknum WJ (29) dari Satuan Lantas Polres OKU sedang berjaga di Pos Polantas Simpang Empat Sukajadi. Saat itu Her melintas dengan mengendarai sepeda motor dan lalu terjadi kesalahpahaman.

Mungkin, karena merasa tersinggung, WJ bersama temannya sesama anggota polisi mengejar korban hingga terjadi cekcok. Pada saat itulah terdengar suara letusan sehingga korban Her mengalami luka tembak.

Korban sempat dilarikan ke RS Antonio Baturaja, namun nyawa korban tidak bisa ditolong karena luka yang dideritanya parah.

“Jadi buntut kasus itu, seperti rekan-rekannya ada yang marah. Padahal kasus in sudah kita tangani,” imbuh Badrodin.